bbri @INFLA$1 … 300413

Net buy asing mengantar penguatan IHSG
Oleh Dyah Megasari – Selasa, 30 April 2013 | 16:37 WIB

JAKARTA. Pada perdagangan hari ini, IHSG ditutup naik 34,32 poin atau 0,69% ke 5.034,07. Total transaksi hari ini adalah 12,4 juta lot atau setara dengan Rp7,8 triliun.

Semua sektor ditutup beragam. Agricultural (-2,20%), basic-industries (+1,08%), sektor construction and property (+1,46%), sektor consumer goods (+4,39%), sektor finance (-0,05%), sektor infrastructure (+0,82%), sektor mining (-0,26%), sektor misc-industries (-0,79%), dan sektor trade (-0,57%).

Tercatat sebanyak 127 saham menguat, 147 saham menurun, 93 saham tidak mengalami perubahan dan 104 saham tidak diperdagangkan sama sekali.

Saham-saham yang menempati top gainers antara lain UNVR (+14,13%), TLKM (+2,63%), BBRI (+2,17%), INTP (+3,53%), dan BBNI (+1,89%).

Sedangkan saham-saham yang menempati top losers adalah BBCA (-2.27%), BMRI (-0.94%), ASII (-0.68%), SIMP (-9.09%), dan PGAS (-0.79%).

Asing tercatat melakukan net buy di pasar reguler sebesar Rp305 miliar dengan saham yang paling banyak dibeli BBRI, UNVR, INTP, TLKM, dan UNTR
Waspadai Saham Perbankan
Tribunnews.com – Sabtu, 27 April 2013 05:41 WIB

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN — Jelang pengumuman angka inflasi pekan depan, Branch Manager Danareksa Medan, Martha Hidayat menyarankan untuk memantau kondisi pergerakan saham di sektor perbankan. Karena sektor inilah yang paling akan terimbas jika rupiah melemah dan angka inflasi tercatat tinggi.

“Begitu inflasi sudah dirilis, saham sektor Perbankan tidak akan begitu ramai. Secara technical analyst memang begitu. Begitupun beberapa bank saya pikir layak untuk tetap dicermati pergerakannya,” katanya, Jumat (26/4/2013).

Saham BBRI, kode emiten Bank Rakyat Indonesia, cukup layak untuk dipantau. Selain karena pengumuman laba yang tercatat naik, target pertumbuhan dan penyaluran kredit juga akan membawa tren positif. Itu artinya masih ada potential buy untuk saham ini.

“Hanya BRI yang disarankan di sektor Perbankan untuk sementara waktu. Kalau Mandiri, boleh juga dicermati. Ada pola pergerakan yang sama. Tapi kemungkinan tidak berlangsung lama,” pungkasnya.(ers)

laba ber$1h BBRI @Rp 5,01 T … 250413

Kuartal I, BRI Raih Laba Bersih Rp 5 Triliun
Oleh Grace Dwitiya Amianti | Kamis, 25 April 2013 | 10:42
investor daily

JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) membukukan laba bersih sebesar Rp 5,01 triliun selama kuartal I-2013, atau bertumbuh 18,76% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 4,22 triliun. Pertumbuhan laba tersebut terutama ditunjang oleh pertumbuhan kredit.

Direktur Keuangan BRI Achmad Baiquni mengatakan, hingga kuartal I-2013, kredit BRI bertumbuh 27,6% (year on year/yoy) menjadi Rp 361,25 triliun, dibandingkan kuartal I-2012 sebesar Rp 283,13 triliun. Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi menjadi sumber peningkatan pendapatan bunga bersih (net interest income/ NII).

“NII mencapai Rp 9,7 triliun atau tumbuh 17,8% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 8,2 triliun,” ujar Baiquni dalam Paparan Kinerja Kuartal I-2013 di Gedung BRI, Jakarta, Rabu (24/4).

Dia mengakui, peningkatan NII juga ditunjang oleh penurunan biaya dana (cost of fund/COF). COF telah menurun menjadi 3,54% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,02%. COF pada tiga bulan pertama tahun ini juga menurun dibandingkan akhir Desember 2012 sebesar 3,68%.

bbri @Rp5,01 T … 240413

Naik 18,7%, BRI Raih Laba Rp5,01 Triliun

Oleh: Wiyanto
pasarmodal – Rabu, 24 April 2013 | 19:59 WIB

INILAH.COM, Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) berhasil membukukan laba pada kuartal pertama sebesar Rp5,01 triliun.

Menurut Direktur Keuangan BRI, Achmad Baiquni, laba tersebut meningkat dari tahun 2012 sebesar 18,76% dibanding 2012 yang hanya Rp4,22 triliun,” ujarnya pada pemaparan kinerja keungan triwulan pertama di Jakarta, Rabu (24/4/2013).

Pendukung adanya laba tersebut kata Baiquni karena Net Interes Income (NII) mencapai 17,8% sebesar Rp9,7 triliun pada triwulan ini jika dibandingkan dari tahun sbelumnya di triwulan yang sama hanya Rp8,2 triliun.

“Alasan lain, karena kredit cukup tinggi sebesar 27,6%. Ini juga karena adanya Fee Based Income (FBI) mengalami peningkatan sebesar 25%,” katanya.

Baiquni menerangkan, laba juga ditopang ATM sebagai pendapatan yang paling besar diterima perseroan. “Paling besar pendapatan jasa yang diterima ATM, pertumbuhan 98,3% karena pengguna ATM cukup signifikan. Pada 2010 hanya 6,8 juta pengguna, pada 2013 mencapai 17,8 juta pengguna,” katanya.

Untuk SMS banking dan internet baking pada 2010 ada 600 ribu pengguna, pada Maret 2013 ada 3,7 juta pengguna. Selain itu, untuk tingkat kecukupan modal atau CAR, pada Maret 2013 mencapai 17,91% dengan stuktur permodalan 94% merupakan TIER 1 capital. [hid]

cadaaa(REPATRIASI DIVID3N)aangan D3V1$4 … 210413

BI ensures sufficient US dollar supply
Satria Sambijantoro, The Jakarta Post, Jakarta | Headlines | Sat, April 20 2013, 10:03 AM

No worries: A teller counts rupiah banknotes at a BNI Syariah branch in Jakarta on Friday. Bank Indonesia has played down concerns on possible dollar shortages. (JP/Nurhayati)No worries: A teller counts rupiah banknotes at a BNI Syariah branch in Jakarta on Friday. Bank Indonesia has played down concerns on possible dollar shortages. (JP/Nurhayati)

The central bank has dampened concerns about a possible dollar shortage in the market, saying there will be a sufficient supply of greenbacks in the coming months on the back of a likely improvement in exports and stronger inflows of foreign funds.

“There should be no concerns or fears about a shortage of dollars,” Bank Indonesia (BI) Deputy Governor Perry Warjiyo said in Jakarta on Friday. “It has always been our commitment to supply dollars to the market when necessary, so that the rupiah remains stable at its fundamental rate.”

Foreign investors are now concerned over pressure on the rupiah, questioning whether there will be sufficient dollars in the currency market in the coming months.

In a recent interview with The Jakarta Post, JPMorgan Chase senior country officer Haryanto T. Budiman said that foreign investors were concerned that the possible shortage of dollars in the next few months would put further pressure on the rupiah.

He said that in addition to foreign debt payments, dollar demand between May and June usually soared as foreign companies would have to repatriate their dividends to their headquarters overseas.

Perry argued, however, that in the coming months, the dollar supply would be sufficient to meet the high demand. There would likely be an increase in earnings from exports, meaning that there would be an additional supply of dollars for local banks to meet the surging demand.

As of January, total dollar export receipts deposited in local banks amounted to $13.3 billion, or 85 percent of total export transactions during the month of $15.2 billion, according to BI data. The percentage of export receipts in local banks could still be pushed upward, a situation that would add more dollars to the local market, according to Perry.

More dollars will also come from foreign fund inflows, which typically become stronger in the second quarter. “In addition, the current account deficit will narrow in the second quarter, eventually leading to an improvement in our balance of payments,” said Perry. “All these factors will help stabilize the rupiah.”

On the concerns of escalating dollar-based debts by the private sector, the BI deputy governor said that “there was no indication of currency or maturity mismatches” that might destabilize the local currency market.

The rupiah strengthened 0.1 percent on Friday to close at 9,713 per dollar, according to prices from local banks compiled by Bloomberg.

However, the rupiah “is not being traded at its fundamental value” as the present rupiah rate might be influenced by the central bank’s intervention, said Lana Soelistioningsih, chief economist with PT Samuel Sekuritas.

“Realizing that the rupiah is currently hovering at an unreasonable value, many exporters have been hoarding their dollars, refusing to convert them into rupiah,” she said on Friday.

Lana explained that exporters opted for dollars because they feared ongoing intense pressure on the rupiah. “This has led to a shortage of dollars in the market.” The dollar hoarders also had concerns about BI’s depleting foreign exchange (forex) reserves, which touched $104.8 billion at the end of March, a two-year low. “If the reserves fall below the psychological threshold of $100 billion, it will spark negative sentiment toward the rupiah,” Lana warned.

bbri @SINGAPURa … 080413

Kabarnya, otoritas Singapura mulai melunak ke BRI
Oleh Annisa Aninditya Wibawa – Senin, 08 April 2013 | 13:39 WIB

kontan

JAKARTA. Upaya PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) untuk membuka cabang penuh di Singapura sudah dilakukan sejak tahun lalu. Namun, pemerintah Singapura belum juga memberikan izin mengenai hal tersebut.

Rupanya, upaya keras BRI mulai membuahkan hasil. Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengatakan, pihak Monetary Authority of Singapore (MAS) sudah mulai melunak. “Katanya sudah ada pelunakan. Kami akan mendiskusikan hal ini,” ucapnya, Senin, (8/4).

Bila jadi membuka cabang di Singapura, BRI bisa menyasar banyak pasar seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan pengusaha Indonesia yang berada di sana. “Kalau kami membuka cabang di sana, hal ini akan menjadi potensi besar buat kami,” sebut Sofyan.

Ia mengatakan bahwa BRI sudah berkali-kali datang ke Singapura karena ada kebijakan yang belum jelas dari MAS. Selain itu, BRI juga meminta dukungan dari Bank Indonesia (BI) untuk mendukung rencana mereka dengan menekankan azas resiprokal.

Disebutnya, bank Singapura bisa mengakses 240 juta penduduk Indonesia. Lalu perbankan Indonesia juga harusnya bisa masuk ke penduduk Singapura yang hanya 2 juta.

“Kenapa mereka boleh punya akses di sini. Sedangkan kita tidak boleh punya akses di sana?” ujarnya.

bnii pLEASe, reduce ur co$t … 0101413

Enam bank harus genjot efisiensi
Oleh Dessy Rosalina, Nina Dwiantika – Senin, 01 April 2013 | 08:17 WIB
kontan

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) resmi meluncurkan acuan atau benchmark Beban Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO) akhir pekan lalu. Berdasarkan 14 bank bank umum kelompok usaha (BUKU) 3 dan 4, sebanyak 6 bank harus menurunkan BOPO agar sesuai benchmark.

Keenam bank tersebut adalah Bank BNI, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Internasional Indonesia (BII), Mega, OCBC NISP dan Panin Bank. BI akan meminta bank yang memiliki BOPO di atas benchmark mencantumkan rencana penurunan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun ini. Jika tidak berhasil, tahun depan bank tidak boleh menambah kantor cabang.

Direktur BTN, Mas Guntur Dwi, mengatakan tahun ini BTN berencana menurunkan BOPO menjadi 75%. Ada tiga strategi yang akan ditempuh. Pertama, memperbaiki struktur perdanaan. BTN akan meningkatkan porsi dana murah (tabungan dan giro) dari 43% menjadi 48,25% total dana pihak ketiga (DPK).

Kedua, meningkatkan kualitas kredit. BTN akan berusaha mengendalikan rasio kredit bermasalah (NPL) dari kredit komersial non-perusahaan. Tahun lalu, 86,2% kredit BTN mengalir ke perumahan dan 13,7% kredit non perumahan.

Ketiga, meningkatkan pendapatan dengan mendongkrak pendapatan non-bunga (fee based income). Tahun ini, BTN menargetkan pertumbuhan 66,6%. Sementara pendapatan non bunga mencapai Rp 577 miliar di sepanjang tahun 2012.

Bank BNI juga akan berencana menurunkan BOPO. Direktur Keuangan BNI, Yap Tjay Soen, mengatakan perbaikan BOPO BNI dengan meningkatkan dana murah guna menurunkan beban biaya. “Kita akan mengurangi dana mahal,” ujarnya.

Perhatikan ekspansi

Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja, mengatakan BOPO bank domestik sangat mudah meningkat. Perbankan masih berekspansi guna meningkatkan penertasi kredit. Maklum, bank masih mengandalkan pendapatan bunga sebagai sumber laba.

Hal ini berbeda dengan bank asing yang tidak melakukan ekspansi dan memiliki porsi pendapatan non-bunga yang hampir sama dengan pendapatan bunga “Ada baiknya bank yang memiliki BOPO tinggi memperlambat ekspansi . Bila sudah terkendali baru ekspansi kembali,” ujarnya

infla$1 … 010413

Ancaman Inflasi 2013 di Depan Mata
Senin, 01/04/2013
neraca

Jakarta – Pemerintah mentargetkan inflasi 2013 di kisaran 3,5-5,5% tampaknya akan meleset, karena selain ancaman inflasi oleh faktor administered price juga ancaman ketidakpastian musim. Menyusutnya lahan pertanian yang diikuti oleh berkurangnya jumlah tumbuhan serta penggunaan BBM yang berlebihan mempercepat proses pemanasan global, yang akhirnya secara otomatis mempersingkat siklus musim anomali pada tahun ini.

NERACA.

Menurut informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) beberapa waktu lalu, bahwa musim kemarau 2013 diperkirakan bakal datang lebih cepat dan sebagian besar wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau pada April dan Mei, dari biasanya Juni.

Ketidakjelasan siklus musim ini (anomaly) dalam beberapa waktu terakhir ini, menurut data BPS, telah memberi kontribusi yang tidak kecil terhadap inflasi, bahkan pada Februari 2013, anomaly musim memberi kontribusi kenaikkan inflasi bahan makanan sebesar 1,79% (mtm) atau mencapai 5,54% (ytd) atau 5,31% (yoy). Suatu angka yang cukup mengganggu target inflasi 2013.

Disisi mikro, ancaman sustainability produksi tidak kalah mengkawatirkan, dimana faktor perbedaan margin harga produk pertanian di level produsen dengan level pedagang semakin melebar. Hal ini membuat profesi petani menjadi tidak menarik, dan mendorong proses kaderisasi petani menjadi terhambat dan bahkan diperparah dengan proses pembagian waris melalui pengalihan lahan produktif menjadi perumahan menjadi pilihan favorit para petani tradisional dewasa ini.

Tidak hanya itu. Masalah akses pembiayaan yang relatif terbatas juga semakin mengaburkan prospek sektor pertanian. Sebaliknya profesi pedagang semakin menjanjikan, karena margin yang semakin besar karena berbagai kemudahan yang diberikan baik sengaja atau tidak sengaja yang mempermudah para pelaku memperoleh akses informasi dengan mudah, dan memperoleh rente yang besar. Belum lagi permasalahan tataniaga yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan petani.

Peningkatan harga komoditas hortikultura (cabe, kedelai, bawang merah dan putih) dan daging sapi belakangan ini, juga memberi kontribusi terhadap inflasi yang cukup besar terhadap inflasi Februari 2013. Namun sayangnya peningkatan komoditas-komoditas tersebut tidak dinikmati sepenuhnya oleh petani, tercermin indeks nilai tukar petani (tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunan rakyat, peternakan & perikanan) yang mengalami penurunan sebesar 0,45%.

Selain itu, ancaman kenaikan inflasi disebabkan oleh tekanan dari sisi kebijakan pemerintah akan mendorong administered prices lebih tinggi. Tahun ini ada rencana kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) sebesar 15%, yang akan mendorong kenaikan harga-harga di sisi penawaran. Belum lagi melihat kondisi kuota BBM kita yang melebihi kuota ditetapkan pemerintah.

Momok Menyeramkan

Direktur Eksekutif Indef yang juga guru besar Universitas Brawijaya Prof Dr Ahmad Erani Yustika mengungkapkan, kenaikan tarif akibat kebijakan pemerintah (administrated price) seperti TTl ,tarif tol, upah minimum provinsi (UMP) dan kemungkinan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan mengerek inflasi sampai 5% lebih pada tahun ini.

“Sudah pasti inflasi akan terkerek naik dan menjadi momok yang menyeramkan untuk perekonomian nasional.inflasi bisa tak terkendali apabila pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tepat,seperti meredam gejolak harga pangan,” ujarnya kepada Neraca, akhir pekan lalu.

Erani mengatakan, kalau tingkat inflasi di Februari mencapai 0,75% angka ini cukup tinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Ini akibat pemerintah masih belum bisa mengendalikan gejolak harga komoditas pangan. Meski inflasi Februari lebih rendah dari Januari yang sampai menyentuh level 1,03%, angka tersebut masih cukup tinggi karena meleset dari dugaan pemerintah yang menargetkan 0,4%. “ Karena harga komoditas pangan yang sangat mempengaruhi inflasi hingga 0,75%,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak lupa dengan faktor yang tidak terduga yang dapat mempengaruhi inflasi seperti bencana, cuaca yang nyaris tidak mungkin kita bisa tolak.

Bencana banjir di Jakarta tampaknya lebih besar dibanding tahun lalu dan mendekati kondisi pada tahun 2007. Erani menjelaskan, kondisi ini akan berpengaruh pada kenaikan harga pangan akibat terganggunya distribusi. Selain itu, beberapa komoditas pertanian juga belum akan panen alias panceklik.

“Kemungkinan inflasi tinggi cukup besar,belum lagi kesiapan pemerintah terhadap bencana masih sangat kurang. Sementara kita melihat pemerintah tidak cukup siap dengan pasokan pangan, distribusi,” tuturnya.

Secara terpisah, Staf Khusus Menko Perekonomian Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa pemerintah perlu mewaspadai laju inflasi yang bisa meningkat lantaran banyaknya indikator seperti kenaikan harga beberapa komoditas pangan, kenaikan TTL, kenaikan UMP. “Kalau langkah pemerintah tetap business as usual, bisa saja nanti akan naik ke atas target 2013,” ujarnya.

Dia mengingatkan, pemerintah akan selalu mewaspadai siklus pola musiman seperti waktu panen raya untuk menarik turun laju inflasi bulan tersebut. Hal itu, jelasnya, harus dilakukan karena inflasi di bulan-bulan awal 2013 dinilai lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Ada kesempatan di Maret dan April karena panen raya. Faktor musiman ini dimanfaatkan untuk menurunkan inflasi sedalam yang seharusnya,” katanya.

Menurut dia, itu merupakan langkah antisipasi untuk menghadapi bulan-bulan yang biasanya memiliki laju inflasi tinggi, seperti Juni, Juli, Agustus, dan Desember. Selain itu, Bank Indonesia perlu memberikan stimulus yang positif yaitu mempertahankan tingkat BI Rate atau membuatnya lebih rendah. Maka dengan begitu bisa memicu pertumbuhan yang lebih baik lagi daripada tahun-tahun sebelumnya. “Suku bunga itu amat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kalau suku bunga rendah, maka berbanding terbalik dengan pertumbuhan. Artinya, pertumbuhan kita akan lebih baik dan memiliki peluang yang lebih besar,” tambahnya.

Dengan suku bunga yang rendah, menurut dia, indikator ekonomi juga akan terjaga di level yang aman. Diperkirakan inflasi akan mampu dijaga dengan baik dan perekonomian Indonesia masih bisa ekspansif diwaktu-waktu mendatang. Namun, perlu diperhatikan adalah agar otoritas terkait tidak melakukan sejumlah kebijakan yang salah arah.

“Kalau suku bunga ditinggikan dengan inflasi yang tinggi, ekonomi kita tumbuhnya melambat. Kalau inflasi rendah dan diikuti suku bunga yang rendah, maka pertumbuhan akan melaju cepat. Saya juga melihatnya inflasi masih terjaga dilevel 5%-an di tahun ini,” ujarnya.

Menurut Ekonom Kepala Bank Mandiri, Destry Damayanti, beberapa kenaikan akibat administered price seperti TTL dan UMP sudah termasuk dalam perhitungan inflasi saat ini. “Bulan April nanti TDL akan naik untuk kedua kalinya, jadi ini sudah masuk dalam perhitungan inflasi sebesar 15%, juga dengan (kenaikan) UMP yang sudah masuk perhitungan. Namun untuk kenaikan tarif tol sepertinya belum masuk perhitungan,” katanya.

Destry mengatakan bahwa yang lebih mengkhawatirkan sebagai penyebab kenaikan inflasi adalah bukan administered price tersebut melainkan volatile food. “Akhir-akhir ini kan harga (volatile food), seperti bawang dan cabai, terus bergejolak. Jadi ini tentu saja akan mempengaruhi inflasi di Maret ini,” tuturnya, akhir pekan lalu.

Sehingga dia memperkirakan kalau inflasi di akhir tahun ini bisa mencapai 6%. “Itu perkiraan saya pribadi. Sementara untuk perhitungan versi Bank Mandiri, inflasi di akhir tahun bisa mencapai 5,6%. Misalnya inflasi di akhir Maret ini akan tumbuh 0,34% dari bulan sebelumnya. Maka apabila pertumbuhan ini relatif stabil pada bulan-bulan setelahnya, maka di akhir tahun bisa mencapai 5,6%. Yang mana ini berada di atas target BI,” jelasnya.

Kemudian, Destry menyetujui pendapat Gubernur BI, Darmin Nasution, beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa kenaikan inflasi saat ini lebih disebabkan oleh faktor supply. “Ya, saya setuju jika memang ada keterbatasan supply yang menyebabkan harga volatile food naik sehingga inflasi bisa naik juga. Tapi sebenarnya masalah supply ini tidak semata-mata masalah moneter saja, jadi ini harus diselesaikan dengan koordinasi dari otoritas terkait juga, tidak hanya BI, tapi juga Kemendag dan Kementan. Karena kalau dipaksa diselesaikan secara moneter tidak akan efektif,” ungkapnya.

Sementara ketika disinggung soal apakah kenaikan inflasi ini juga akan menyebabkan suku bunga naik ke depannya, dia belum melihat tanda-tanda ke arah sana. “Saya belum melihat bahwa ini akan ada pengaruhnya ke kenaikan suku bunga juga. Karena hal ini bisa terjadi hanya jika core inflation-nya yang naik. Core inflation sendiri disebabkan oleh aktivitas perekonomian yang tinggi seperti investasi dan (penyaluran) kredit yang berlebihan,” ucapnya.

Jadi, bila core inflation tidak mengalami kenaikan, maka inflasi keseluruhan masih bisa dikendalikan agar stabil dengan kebijakan moneter. “Apalagi jika kenaikan inflasi lebih dikarenakan peningkatan volatile food price, ini tidak akan pengaruh kepada kenaikan suku bunga. Karena kalau (suku bunga) malah dinaikkan, tentu akan memberatkan sektor perekonomian yang lain,” ujarnya.

Destry menambahkan, BI Rate kemungkinan akan dipertahankan di level 5,75% sampai akhir tahun ini, namun Fasbi Rate yang mungkin akan naik 25 sampai 50 basis poin. “Karena kalau tidak naik maka akan menimbulkan tekanan pada nilai tukar rupiah. Tekanan tersebut masih akan berlangsung sampai akhir semester pertama 2013, sementara di semester kedua akan mulai berkurang,” ujarnya. ria/bari/iwan/fb